TRAFFICKING alias perdagangan orang telah lama terjadi di muka bumi ini dan
merupakan tindakan yang bertentangan dengan agama, harkat dan martabat manusia. Ini
merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Di masa lalu,
perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa
ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Sejumlah konvensi terdahulu mengenai
perdagangan orang hanya memfokuskan aspek eksploitasi seksual. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan
anak dengan atau tanpa persetujuan
orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri, baik berupa eksploitasi perburuhan, eksploitasi seksual maupun eksploitasi tenaga kerja dibawah umur.
Menurut Undang-Undang No. 21
tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memberi kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di
dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan
orang tereksploitasi.
Trafiking
merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak seluruh komponen
bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di
mata internasional. Data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan
perempuan dan anak! Ini gila! Bangsa yang dikenal ramah, lembut, ternyata memiliki karakter kejam. Anak bangsa menjual saudaranya sendiri!
Penanganan trafiking tidak mudah, karena kasus pengiriman
manusia secara ilegal ke luar negeri sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya
tanpa adanya suatu perubahan perbaikan. Sebagaimana yang dilaporkan
Pemerintahan Malaysia, bahwa 4.268 pekerja seks berasal dari Indonesia.
Demikian juga dengan wilayah perbatasan negara Malaysia dan Singapura. Data
menunjukkan sebanyak 4.300 perempuan dan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja
seks (Kompas, 10 Mei 2001) di wilayah tersebut. Kemudian di akhir tahun 2004
muncul lagi kasus yang sama, bahkan meningkat mencapai angka 300.000.1
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya trafiking adalah faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, di mana korban diperjualbelikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat. Kondisi demikian merupakan incaran empuk sindikat perdagangan perempuan dan anak yang terorganisir untuk melakukan perekrutan. Modusnya nyaris jauh dari
jangkauan hukum, karena sindikatnya mengawali dengan transaksi utang-piutang
antara pemasok tenaga kerja ilegal dengan korban yang mempunyai bayi atau anak
perempuan yang masih perawan, sehingga jika korban tidak mampu untuk
menyelesaikan transaksi yang telah disepakati, maka agunannya adalah anak
perempuan yang masih bau kencur.
Masyarakat
internasional telah lama menaruh perhatian terhadap permasalahan perdagangan
anak ini. PBB, misalnya, melalui konvensi tahun 1949 mengenai penghapusan
perdagangan manusia dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain, konvensi tahun
1979 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan
konvensi tahun 1989 mengenai hak-hak anak. Berbagai organisasi internasional
seperti IOM, ILO, UNICEF, dan UNESCO memberikan perhatian khusus pada masalah
perdagangan anak, pekerja anak yang biasanya berada pada kondisi pekerjaan
eksploitatif, seksual komersial.
Jika ditinjau
dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah masuk area tindak pidana,
perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan
dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai
harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UUD
1945 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemerintah
Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002
dan telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights on the
Child) melalui Keppres Nomor 36 Tahun1990 Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 57.
Secara pribadi saya berharap agar pemerintah beserta seluruh instansi terkait dapat menangani korban trafficking sampai pada pemulihannya. Terpenting, memutus jaringan sindikat penjualan orang di wilayah Indonesia.
|
Komentar
Posting Komentar